HARAPAN pecinta sepak bola Indonesia untuk melihat perubahan mendasar pada struktur organisasi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) agaknya ibarat menggantang asap. Bagaimana tidak, jika calon ketua umum yang digadang-gadang mereformasi organisasi tidak diloloskan oleh Tim Verifikasi PSSI.
Ketua Komite Pemilihan Syarif Bastaman hanya meloloskan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie sebagai calon ketua umum periode 2011-2015. Dua calon lainnya, yakni Jenderal George Toisutta (KSAD) dan Arifin Panigoro (pendiri Liga Primer Indonesia) dinyatakan tidak lolos.
Padahal, pada kedua pundak nama yang disebut terakhir itulah tergantung harapan adanya pergantian pengurus PSSI dan berimbas pada pengelolaan kompetisi sepak bola Indonesia secara profesional yang sanggup meningkatkan prestasi di forum internasional.
Disebut-sebut pula tidak lolosnya George Toisutta karena dia hanya berkiprah di Persatuan Sepakbola Angkatan Darat (PSAD) yang notabene bukan anggota PSSI. Adapun Arifin Panigoro karena terlibat langsung dalam Liga Primer Indonesia (LPI) yang dianggap sebagai kompetisi liar oleh PSSI.
Selain itu, keduanya belum pernah menjabat kepengurusan inti (operasional) di PSSI sekurang-sekurangnya 5 tahun, seperti diatur Statuta PSSI, terutama Pasal 35 Ayat 4. Hasil verifikasi itu mengindikasikan bahwa para petinggi PSSI tidak menghendaki ada calon lain di luar PSSI, selain incumbent (Nurdin dan Nirwan) dengan berlindung pada Statuta PSSI.
Ada baiknya kita menengok ke belakang, ketika Nurdin menyandang status napi karena menyelewengkan beras impor dan minyak goreng pada 2004 yang membuatnya harus mendekam 2 tahun di LP Cipinang, dia tetap memaksakan diri memimpin PSSI. Padahal, berdasarkan Statuta FIFA, pelaku kriminal tidak boleh menjabat sebagai ketua umum sebuah asosiasi sepak bola nasional.
Demi tidak melanggar Statuta PSSI, Nurdin merekayasa kalimat yang sebelumnya berbunyi ”ketua umum harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal” diubah dengan menghapus kata ”pernah” dan menggantinya dengan kata ”harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal” (Wikipidea Indonesia). Dengan ”kecerdikannya” itu dia tetap bisa menjabat ketua PSSI.
Seharusnya, jika mau bertanding secara ksatria dan bermain fairplay dalam pencalonan ketua umum PSSI, embel-embel tidak memenuhi persyaratan adminstrasi yang disebut dalam Pasal 35 Ayat 4 seharusnya diabaikan demi pelaksanaan kongres yang jujur dan memenuhi rasa keadilan.
Bentuk Tandingan Melihat karut-marutnya PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin yang sering bertindak semaunya sendiri, misalnya mengintervensi Komisi Disiplin, Komisi Banding, klub sepak bola, dan sebagainya agaknya menjadi hal lumrah jika aroma tak sedap berhembus kencang mengiringi agenda Kongres PSSI di Bali, 26 Maret mendatang.
Penggalangan dukungan untuk memilih Nurdin saat Kongres Tahunan di Tabanan, Bali 21-22 Januari lalu menjadi bukti perilaku kerdil kelompok Nurdin tatkala 84 dari 100 pemilik hak suara saat kongres itu menyatakan dukungannya agar Nurdin dipilih kembali.
Tidak hanya itu, kedok studi banding yang akan dilakukan PSSI dengan mengajak klub-klub peserta Liga Super dan Divisi Utama tur ke Eropa awal Maret nanti hanyalah akal-akalan petinggi PSSI untuk melicinkan jalan Nurdin.
Semangat fairplay yang digembar-gemborkan setiap pertandingan Liga Indonesia ternyata tidak berlaku di kongres. Begitu berartikah figur Nurdin bagi pengda atau klub-klub yang mendukungnya hingga tanpa sungkan mereka mendukungnya. Di mana loyalitas pemilik hak suara tersebut kepada negara dan bangsa ini yang mayoritas penduduknya menghendaki reformasi total di PSSI?
Memang, kongres belum dimulai dan kesempatan banding bagi George Toisutta dan Arifin Panigoro masih terbuka. Tetapi jika persyaratan administrasi yang mengharuskan keduanya sekurang-kurangnya 5 tahun berkiprah di kepengurusan PSSI tak dihilangkan, sama juga bohong. Apakah PSSI tandingan yang digagas komponen sepak bola nasional yang berkembang belakangan ini akan terwujud? Kita semua menunggunya. (10)
Penulis : Nur Khafid
Ketua Komite Pemilihan Syarif Bastaman hanya meloloskan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie sebagai calon ketua umum periode 2011-2015. Dua calon lainnya, yakni Jenderal George Toisutta (KSAD) dan Arifin Panigoro (pendiri Liga Primer Indonesia) dinyatakan tidak lolos.
Padahal, pada kedua pundak nama yang disebut terakhir itulah tergantung harapan adanya pergantian pengurus PSSI dan berimbas pada pengelolaan kompetisi sepak bola Indonesia secara profesional yang sanggup meningkatkan prestasi di forum internasional.
Disebut-sebut pula tidak lolosnya George Toisutta karena dia hanya berkiprah di Persatuan Sepakbola Angkatan Darat (PSAD) yang notabene bukan anggota PSSI. Adapun Arifin Panigoro karena terlibat langsung dalam Liga Primer Indonesia (LPI) yang dianggap sebagai kompetisi liar oleh PSSI.
Selain itu, keduanya belum pernah menjabat kepengurusan inti (operasional) di PSSI sekurang-sekurangnya 5 tahun, seperti diatur Statuta PSSI, terutama Pasal 35 Ayat 4. Hasil verifikasi itu mengindikasikan bahwa para petinggi PSSI tidak menghendaki ada calon lain di luar PSSI, selain incumbent (Nurdin dan Nirwan) dengan berlindung pada Statuta PSSI.
Ada baiknya kita menengok ke belakang, ketika Nurdin menyandang status napi karena menyelewengkan beras impor dan minyak goreng pada 2004 yang membuatnya harus mendekam 2 tahun di LP Cipinang, dia tetap memaksakan diri memimpin PSSI. Padahal, berdasarkan Statuta FIFA, pelaku kriminal tidak boleh menjabat sebagai ketua umum sebuah asosiasi sepak bola nasional.
Demi tidak melanggar Statuta PSSI, Nurdin merekayasa kalimat yang sebelumnya berbunyi ”ketua umum harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal” diubah dengan menghapus kata ”pernah” dan menggantinya dengan kata ”harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal” (Wikipidea Indonesia). Dengan ”kecerdikannya” itu dia tetap bisa menjabat ketua PSSI.
Seharusnya, jika mau bertanding secara ksatria dan bermain fairplay dalam pencalonan ketua umum PSSI, embel-embel tidak memenuhi persyaratan adminstrasi yang disebut dalam Pasal 35 Ayat 4 seharusnya diabaikan demi pelaksanaan kongres yang jujur dan memenuhi rasa keadilan.
Bentuk Tandingan Melihat karut-marutnya PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin yang sering bertindak semaunya sendiri, misalnya mengintervensi Komisi Disiplin, Komisi Banding, klub sepak bola, dan sebagainya agaknya menjadi hal lumrah jika aroma tak sedap berhembus kencang mengiringi agenda Kongres PSSI di Bali, 26 Maret mendatang.
Penggalangan dukungan untuk memilih Nurdin saat Kongres Tahunan di Tabanan, Bali 21-22 Januari lalu menjadi bukti perilaku kerdil kelompok Nurdin tatkala 84 dari 100 pemilik hak suara saat kongres itu menyatakan dukungannya agar Nurdin dipilih kembali.
Tidak hanya itu, kedok studi banding yang akan dilakukan PSSI dengan mengajak klub-klub peserta Liga Super dan Divisi Utama tur ke Eropa awal Maret nanti hanyalah akal-akalan petinggi PSSI untuk melicinkan jalan Nurdin.
Semangat fairplay yang digembar-gemborkan setiap pertandingan Liga Indonesia ternyata tidak berlaku di kongres. Begitu berartikah figur Nurdin bagi pengda atau klub-klub yang mendukungnya hingga tanpa sungkan mereka mendukungnya. Di mana loyalitas pemilik hak suara tersebut kepada negara dan bangsa ini yang mayoritas penduduknya menghendaki reformasi total di PSSI?
Memang, kongres belum dimulai dan kesempatan banding bagi George Toisutta dan Arifin Panigoro masih terbuka. Tetapi jika persyaratan administrasi yang mengharuskan keduanya sekurang-kurangnya 5 tahun berkiprah di kepengurusan PSSI tak dihilangkan, sama juga bohong. Apakah PSSI tandingan yang digagas komponen sepak bola nasional yang berkembang belakangan ini akan terwujud? Kita semua menunggunya. (10)
Penulis : Nur Khafid
0 komentar:
Posting Komentar